Gelar Karya P5 Tema Bhinneka Tunggal Ika
Gelar karya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) tema “Bhinneka Tunggal Ika” dilaksanakan untuk peserta didik kelas VII. Kegiatan ini dilakukan bersamaan bersamaan dengan kelas gelar karya tema “Suara Demokrasi” yang dilakukan oleh peserta didik kelas VIII. Gelar karya tema “Bhinneka Tunggal Ika” pada tahun ajaran ini memilih topik “Aku Muda, Pelestari Budaya Bangsa”. Kegiatan P5 ini mengembangkan 3 dimensi profil pelajar Pancasila. Dimensi tersebut adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebhinnekaan global, dan kreatif.
Kegiatan P5 ini bertujuan agar peserta didik SMPN 2 Kabuh menghargai dan melestarikan budaya Indonesia, serta dapat mengembangkan kreativitasnya melalui tahapan aksi, yaitu membuat poster bertajuk pelestarian keragaman budaya, membuat pakaian adat, dan menarikan tarian daerah di Indonesia. Puncaknya dalam kegiatan P5 adalah gelar karya, dimana di dalamnya akan menampilkan hasil kreativitas peserta didik SMPN 2 Kabuh sebagai bentuk kepedulian dalam melestarikan keragaman budaya di Indonesia.
Pada kegiatan P5 tema Bhinneka Tunggal Ika kali ini peserta didik dibagi menjadi beberapa provinsi yang sekiranya dapat dengan mudah dibuat baju adat dan tarian tradisionalnya oleh peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Kabuh. Pembagian tersebut dilakukan secara acak berdasarkan kelas.
Kelas VIIA
Untuk kelas VIIA mendapatkan pakaian dan tarian adat yang berasal dari Pulau Sumatera yaitu Provinsi Sumatera Utara. Nama pakaian adat yang dibuat adalah pakaian adat Suku Batak Toba. Pakaian adat tersebut digunakan untuk upacara adat, pernikahan dan juga pesta syukuran. Pakaian adat Suku Batak Toba menggunakan kain ulos yang memiliki arti khusus. Seperti halnya kain ulos ragi hotang digunakan sebagai pesta sukacita, lalu kain ulos simbolang digunakan ketika sedang berduka, dan masih banyak ragamnya. Adapun ciri-ciri baju adat Suku Batak Toba adalah kain yang digunakan adalah kain ulos, jas atau baju hitam, dan pengikat kepala.
Sedangkan tarian adat yang pelajari oleh kelas VIIA bernama Tari Tortor. Tari Tortor berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba, Samosir, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Simalungun. Tortor mempunyai makna penting dalam Ulaon Adat (upacara adat) orang-orang Batak. Karena dengan adanya Tortor, masyarakat Batak bisa menyampaikan harapan sekaligus doa-doanya terkait situasi yang dialaminya. Secara etimologis, nama “Tortor” berasal dari bunyi hentakan kaki pada lantai rumah adat suku Batak yang terbuat dari kayu. Karena bahannya, makanya bisa menghasilkan suara berbunyikan “tor, tor”.
Tercatat oleh sejarah, Tari Tortor adalah tarian masyarakat Batak yang telah ada sejak abad ke-13. Di masa itu, tarian ini sudah digunakan sebagai tari persembahan bagi roh leluhur. Tari Tortor pun memiliki makna simbol dalam tiap-tiap gerakannya yang bervariasi dan penuh makna. Memiliki arti saling menghargai dan menghormati antar saudara semarga dalam bentuk hubungan yang baik. Sehingga unsur kerabat dalam Batak seperti hulahula, dongan sabutuha (semarga) dan boru mengartikan gerakan tortor. Dahulu pula, Tortor sering menggunakan properti seperti patung dalam pertunjukkan tari Tortor.
Kelas VIIB
Kelas VIIB memilih pakaian dan tarian adat yang berasal dari Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Selatan. Pakaian adat yang di tampilkan dari kelas VIIB adalah salah satu pakaian kreasi yang terinspirasi dari pakaian adat Bagajah Gamuling Baular Lulur yang merupakan jenis pakaian adat dari provinsi Kalimantan selatan. Baju adat ini dibuat dari kain sasirangan (Adat Banjar). Kain ini dipercaya dapat melindungi mereka dari roh jahat serta dapat menyembuhkan orang yang mengenakannya.
Tarian yang dipersembahkan oleh peserta didik kelas VIIB adalah Tari Ampar Ampar Pisang. Tarian ini merupakan bentuk tarian tradisional dari Suku Dayak di Kalimantan Selatan. Tari Ampar-Ampar Pisang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak tentang keindahan alam, kemakmuran, dan kehidupan bersosialisasi.
Kelas VIIC
Penampilan kelas VIIC memilih pakaian dan tarian adat dari Pulau Madura. Pakaian adat laki-laki Suku Madura untuk laki-laki menggunakan baju luaran dan celana yang longgar memiliki simbol masyarakat Madura menghargai kebebasan. Bentuk baju yang sederhana tersebut melambangkan kesederhanaan. Kaos bergaris merah putih menandakan bahwa orang Madura menunjukkan sikap tegas dan semangat juang tinggi dalam menghadapi segala hal. Pakaian adat perempuan Suku Madura disebut dengan kebaya rancongan dan baju aghungan. Kebaya khas Madura hampir mirip dengan kebaya pada umumnya dan pas dengan bentuk tubuh. Modelnya adalah lengan panjang yang dilengkapi dengan odhet atau stagen yang diikatkan di perut.
Tarian yang akan dipersembahkan VIIC adalah Tarian Lir Sa-alir. Tarian tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang sangat tinggi, khususnya untuk memberikan nasehat kepada seseorang tanpa melukai perasaan yang dinasehati. Hal ini mengingatkan kepada kita semua agar berbuatlah sesuai dengan kemampuan.
Kelas VIID
Kelas VIID memilih pakaian dan tarian adat yang berasal dari Pulau Papua. Pulau Papua sebenarnya didiami oleh beragam suku, seperti Suku Asmat, Suku Dani, Suku Biak, Suku Kamoro, dan Suku Waropen. Tiap-tiap suku memiliki ciri khas masing-masing dalam pakaian adatnya. Namun kelas VIID menampilkan pakaian adat dengan rok rumbai. Rok rumbai tersebut dipakai oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Untuk laki-laki biasanya bertelanjang dada dan rok rumbai digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah hingga sebatas lutut. untuk kaum perempuan juga sama. Namun seiring berkembangnya zaman, dibuat pula penutup bagian atas yang terbuat dari rumbai pula. Rumbai ini terbuat dari daun sagu yang di keringkan dan di ikat menjadi seperti rok. Daun sagu yang digunakan untuk pakaian adat ini tidak sembarangan. Daun sagu harus di petik ketika air laut sedang pasang dan hanya bagian pucuknya saja. Aksesoris lain berupa gelang dan kalung yang terbuat dari taring babi atau gigi anjing. Mahkota dikepala menggunakan bulu burung cendrawasih dan bulu kelinci di bagian bawahnya.
Tarian yang akan dipersembahkan kelas VIID adalah Tari Sajojo. Tari Sajojo adalah tarian tradisional yang liriknya berbahasa Moi yang berasal dari daerah Sorong, Papua Barat Daya. Tarian ini sering dijadikan penampilan di berbagai acara, baik acara adat, budaya, maupun sekadar hiburan saja. Tarian ini juga ditarikan oleh berbagai jenis kalangan, baik pria maupun wanita, tua maupun muda, karena tarian ini termasuk tarian pergaulan. Ciri khas dari tari Sajojo adalah pada properti busana yang dikenakan oleh para penarinya yaitu rok rumbai berwarna coklat mudah dengan kalung ditambah dengan berbagai macam perlengkapan khas dari adat setempat.
Kelas VIIE
Kelas VII E manampilkan pakaian dan tarian adat Suku Bugis. Pakaian adat Suku Bugis bernama Baju Bodo. Baju Bodo merupakan pakaian adat untuk perempuan suku Bugis dan juga dianggap sebagai pakaian adat yang tertua di dunia. Baju adat ini sendiri terbuat dari kain tenun yang sudah dikenal sejak abad ke-9 oleh masyarakat Suku Bugis. Kata “bodo” pada pakaian adat ini memiliki arti pendek. Kain yang digunakan pada pakaian adat ini adalah kain muslin. Kain tersebut memiliki banyak jenis mulai dari kain yang memiliki tekstur halus hingga kasar.
Awalnya baju ini didesain segi empat dengan lubang untuk kepala dan lengan tanpa adanya tambahan desain lainya. Pakaian adat suku Bugis ini dipakai bersama sarung untuk menutupi bagian bawahnya. Suku bugis terdahulu memakai baju ini hanya menggunakan sarung yang dililitkan dari pinggang hingga mata kaki. Jika biasanya sarung dililitkan dan membuat bagian bawah dan kaki rapat namun pada pakaian ini sarung sengaja dipasang longgar sesuai dengan bentuk atasannya. Filosofi terkaitnya juga masuk pada warna yang dipakai, umum bagi kaum perempuan menginginkan warna mencolok serta menampilkan keanggunan.
Tarian yang akan dipersembahkan oleh peserta didik kelas VIIE adalah Tari Sipatokaan. Tarian ini dikenal sebagai tarian tradisional yang digunakan dalam acara-acara adat seperti pernikahan atau upacara keagamaan. Lagu “Si Patokaan” mengisahkan seorang ibu yang cemas karena anaknya yang sudah beranjak dewasa. Kekhawatiran tersebut pun didasari oleh sang anak yang akan pergi jauh meninggalnya tanah kelahirannya untuk mencari nafkah. Secara umum lagu ini memberikan sebuah pesan, meskipun sang ibu cukup berat melepas anaknya ke tempat jauh, namun tetap harus merelakan. Doa yang dipanjatkan merupakan tanda bahwa kasih sayang seorang ibu tiada batas meskipun hatinya sedih.